--> Skip to main content

Cerpen Hujan | Cerita Pendek Hujan | Yang Hujan Turun Lagi

Cerpen Hujan | Cerita Pendek Hujan | Yang Hujan Turun Lagi - Hujan merupakan anugrah terbesar dari Sang Pencipta, namun Kadang manusia menganggap hujan sebagai bencana bagi mereka. Namun di balik misteri hujan ada beribu kenangan yang bisa melukiskan bahwa dengan adanya hujan terciptalah sebuah kondisi yang natural. berikut puisi tentang hujan yang kami langsir dari sebuah situs http://www.atmajaya.ac.id.

HUJAN

Aku menyukai hujan. Apa pun bentuk hujan aku suka. Hujan rintik-rintik yang lembut menyentuh kulit seperti taburan buih. Ibuku kerap memarahiku jika aku berlama-lama menikmatinya. Ia bilang, ”Ayo masuk, hujan seperti ini bikin kepalamu pusing nanti!” Aku suka hujan deras, seperti ratusan selendang mayang yang terjatuh dari langit. Tertiup angin ke sana ke mari, teksturnya kadang tebal kadang tipis. Semasa sekolah, bila tak ingat akan buku-buku yang kubawa dalam ranselku, dengan sengaja aku berlari ke tengah hujan. Menikmati derainya yang membelai seluruh tubuhku. Tentu sesampai di rumah ibuku langsung mengomel,”Lupa terus bawa payung, kan tadi pagi sudah Ibu ingatkan!”. Atau di lain waktu bunyi omelannya,”Kalau hujan, berteduh dulu, nanti kalau sakit siapa yang rugi.” Setelah beranjak dewasa, aku sering memainkan tetes-tetes hujan yang bergulir dari pinggir payungku. Sering kali aku sengaja menadahkan tangan tepat di bawah cucuran atap hanya untuk menikmati tiap tetes yang memercik di tanganku. Dan aku hanya tertawa dalam hati, ketika anakku yang berusia dua tahun segera berlari mengambil payung mungilnya dan berdiri di bawah cucuran atap sambil menadahkan tangannya ketika hujan mulai datang.

Aku bisa duduk berjam-jam di tepi jendela kamarku menatapi titik-titik hujan yang jatuh ke tanah. Menerka-nerka, jika titik-titik itu bisa bicara, kira-kira apa yang mereka teriakkan ketika tubuh mereka jatuh terburai menabrak tanah dan batu. Keriuhan bunyi hujan dengan tempo cepat atau lambat tidak membuatku merasa bising. Justru di tengah gegap gempita akustik air itu, aku merasa hening. Seringkali aku lupa turun dari kendaraan umum karena menatapi titik-titik air yang jatuh di kaca mobil. Titik-titik itu seperti sprinter , segera setelah menempel di kaca, kemudian berlari cepat ke arah belakang karena pengaruh kecepatan mobil. Aku hampir dapat mendengar teriakan-teriakan riang titik-titik air itu ketika menggelinding cepat di atas kaca.

Aku juga suka aroma hujan. Aroma tanah kering yang mengurai setelah tertimpa tetes-tetes hujan merupakan kenikmatan sendiri untukku. Baunya seperti tembikar yang baru saja keluar dari pembakaran. Aroma udara yang segar dan renyah setelah hujan deras reda mengingatkanku akan es krim vanila dengan wafer yang kering. Menyenangkan!

Ada pepatah tentang air, sama seperti api. Kecil jadi kawan, besar jadi lawan. Apakah banjir mengubah persepsiku tentang hujan? Apakah hujan angin dan petir mengubah persepsiku tentang hujan? Aku tidak dapat menjawabnya secara logis. Ketika hujan angin dan petir, aku selalu refleks mematikan semua alat elektronik di rumah, kecuali lampu. Bila lampu mati, saat kuliah dulu, teman-teman sepondokanku mengatakan, ”Lampu padam, padam juga semangatku” atau ” No lampu no sinao (belajar-pen) lah yau” atau ”Hujan gelap-gelapan, enaknya bobok sambil pelukan, apalagi sama selingkuhan.” Kalau kuingat-ingat, biasanya aku menyalakan lilin lalu menatapi pijarnya sambil mencorat-coret di buku kecil lusuh yang selalu kubawa ke mana-mana. Saat sedang musim banyak laron, biasanya aku sibuk mengamati laron-laron yang dengan bodohnya menceburkan diri ke dalam jilatan api lilin. Ada pula laron yang beruntung luput dari api, tetapi sayapnya rusak. Dengan bantuanku kumasukkan laron-laron yang beruntung itu ke dalam api, toh ia tak akan bisa bertahan hidup lebih lama hanya dengan satu sayap.

Bagaimana dengan banjir? Kupikir banjir itu harusnya identik dengan kelimpahan, dan selayaknya dinanti dan disukai. Coba bayangkan banjir hadiah. Bagaimana dengan banjir air? Ketika jalanan banjir saat aku dalam perjalanan pulang ke rumah, yang kulakukan adalah melipat ujung celanaku sampai sebatas lutut, membungkus buku-bukuku dengan kantong plastik sebelum kumasukkan ke dalam ransel dan dengan percaya diri berjalan menembus limpahan air. Seburuk-buruknya sepatuku jebol atau kakiku kena ruam dan gatal-gatal. Ketika membantu membersihkan rumah seorang teman yang habis kebanjiran, itu pun tidak mengubah persepsiku tentang hujan. Kadang kala aku khawatir melihat genangan air yang makin lama makin tinggi, tetapi itu tidak menyurutkan kesukaanku pada hujan. Kupikir-pikir ketakutan akan banjir itu sebenarnya merupakan ketakutan akan kehilangan. Kehilangan barang-barang yang rusak karena banjir atau kehilangan rumah yang terbawa arus air. Dengar ya, aku tidak punya alasan logis, jadi aku tetap menyukai hujan.

Kupikir hujan juga identik dengan cinta. Perhatikan film-film karya Bollywood. Ketika tokoh utamanya jatuh cinta, pasti ada saatnya mereka bernyanyi dan menari di tengah hujan. Rasa cinta mereka mereka lebih ekspresif dipresentasikan di tengah-tengah derai hujan. Rayuan-rayuan cinta di tengah hujan ditambah dengan pemandangan lekuk tubuh yang tercetak dengan indah karena baju sang tokoh basah, menambah kedekatan antarinsan yang mabuk asmara. Hujan juga kerap tampil di film-film Drama Asia (Korea, Mandarin, dan Jepang), menambah nuansa dramatis akan cinta, sehingga penonton terharu biru. Di dalam negeri juga ada film remaja ”Ada Apa dengan Cinta” yang menampilkan suasana setelah hujan untuk mendekatkan dua remaja yang jatuh cinta. Dan biasanya hujan menjadi alasan utama para pria untuk lebih mendekap pasangannya ketika sedang berjalan bersama menggunakan satu payung, mereka bilang, ”Ayo, ke sini supaya tidak basah” atau ”Kamu kedinginan, ya? Ayo, merapat kemari”. So sweet !

Kadang kala ada yang menyalahgunakan ekspresi hujan sebagai ekspresi kesedihan. Beberapa opera sabun di dalam negeri menampilkan hujan ketika si tokoh utama diusir dari rumah, atau ketika si tokoh utama dizholimi. Tangisan si tokoh terasa lebih berderai-derai ketika ia menangis dalam hujan. Tentu kesan yang dihasilkan menjadi berlebihan menurutku. Dalam benakku hujan tetap merupakan ekspresi cinta.

Nirmata
Fakultas Ilmu Administrasi Unika atmajaya Jakarta.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar